Kamis, 05 September 2013

Agama dan Kesehatan Fisik dan Mental


Agama dan Kesehatan Fisik dan Mental

Terjadi perdebatan diantara psikolog tentang hubungan  agama dan psikologi. Pada awal berdirinya psikologi sebagai ilmu otonom, agama dipandang negatif oleh beberapa tokoh-tokoh psikologi yang terkenal. Salah satu tokoh tersebut adalah Sigmund Freud (1933) yang menyatakan bahwa “religion is an illusion and it derives its strength from the fact that it falls in with our instinctual desires”. Ia juga menyatakan bahwa “religion is comparable to a childhood neurosis”. Sedangkan Alber Ellis (1994) Percaya akan probabilitas bahwa tuhan ada dalam bentuk yang sangat kecil sehingga tidak layak untuk mendapatkan perhatian darinya atau orang lain.

Meskipun mendapat pandangan negatif dari beberapa tokoh psikologi, penelitian tentang korelasi antara agama dan kesehatan mental penganutnya terus berkembang, bahkan mampu membentuk sub disiplin ilmu yaitu psikologi agama. Dihasilkannya buku The Psychological of Religion: An Empirical Study of The Growth of Religious Counsciousness oleh Edwin Diller Starbuck pada tahun 1899 dinilai sebagai titik awal berkembangnya penelitian agama. Lalu, tokoh-tokoh psikologi lainnya seperti William James dan James H. Leuba pun ikut memperdalam penelitian dalam psikologi agama. Bahkan Ellis pun mengakui dan menyetujui bukti survey yang menyatakan bahwa dengan mempercayai tuhan yang penyayang dapat menyehatkan secara psikologis. Seiring dengan berkembangnya psikologi agama, semakin banyak penelitian yang menghasilkan bukti-bukti empiris yang mendukung adanya efek positif bagi kesehatan mental maupun fisik.
Karena pentingnya peran agama dalam kehidupan penganutnya, maka sangat penting bagi kita untuk mengkajinya secara lebih mendalam. Bahkan dalam agama itu sendiri, selalu ada sisi pengkajian tentang psikologi. Hal tersebut menunjukkan eratnya hubungan antara agama dan  psikologi. Dengan mengkaji efek dari penerapan ajaran agama secara mental dan fisik, diharapkan kita dapat menjadi lebih memahami  makna dari agama yang kita anut dan kita menjadi lebih bijaksana dalam menjalankannya.

Psikologi agama merupakan salah satu sub disiplin ilmu dari psikologi. Menurut Zakiyah Darajat,
“Psikologi agama meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari berapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku, serta keadaaan hidup pada umumnya, selain itu juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.” (sebagaimana dikutip dalam Jalaludin, 2004, hal.15).
Psikologi agama secara khusus mengkaji tentang proses kejiwaan seseorang terhadap tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk itu dalam psikologi agama dikenal adanya istilah kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Menurut Zakiah Darajat kesadaran agama itu adalah bagian atau hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau disebut juga dengan aspek mental dan aktivitas agama. Sedangkan yang dimaksud pengalaman agama adalah unsur perasaan dan kesadaran agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakannya.

Dalam dua dekade terakhir, penelitian tentang efek agama mengalami berkembangan pesat. Secara gamblang, banyak penelitian dalam bidang psikologi, psikiatri, medis, kesehatan masyarakat, sosiologi dan epidemiologi yang membuktikan efek positif dari keterlibatan agama dalam kesehatan fisik dan mental manusia. Penelitian tersebut juga menunjukkan pentingnya aspek keagamaan dalam kehidupan manusia. Penelitian itu menggunakan beberapa unsur psikologis yang terkait dengan agama, yaitu: kepercayaan akan adanya Tuhan yang mempengaruhi kehidupan; tingkat kualitas dalam melakukan aktivitas agama (contoh: frekuensi berdoa, penghayatan dalam berdoa); dan tingkat komitmen dalam beragama.
Beberapa penelitian telah dilakukan di Amerika Serikat, Denmark, Finlandia, dan Taiwan yang bertujuan untuk melihat hubungan antara agama serta kesehatan mental dan fisik manusia. Dari penelitian tersebut, diperoleh hasil bahwa 25-30% individu yang aktif dalam menjalankan kegiatan agama memiliki usia lebih panjang dibandingkan dengan yang tidak. Tingkat keaktifan beragama diukur dengan berbagai cara, antara lain dengan mengukur tingkat kepercayaan pada agama, maupun frekuensi kunjungan dan keikutsertaan dalam kegiatan ibadah (salat, berdoa, dan atau membaca kitab suci). Selain itu, individu remaja atau dewas–dengan latar belakang berbagai agama—dengan tingkat religiusitas tinggi lebih tidak menyukai minum-minuman keras atau rokok dan hal-hal tidak baik lainnya, mereka pun lebih sering menaati peraturan dan makan dengan pola makan yang baik sehingga berimplikasi pada kondisi kesehatan mereka secara fisik. Diasumsikan bahwa individu dengan tingkat religiusitas tinggi memiliki sel-regulation tinggi sehingga ia mampu mengontrol diri untuk menjauhi hal-hal yang tidak baik tersebut yang memberi efek buruk bagi kesehatan mereka.

Penelitian yang dilakukan oleh Larson menunjukkan bahwa  agama dan spiritualitas mampu member efek positif pada kesehatan fisik. Beberapa efek yang telah diukur oleh Larson yaitu: 1) menurunnya tekanan darah sistol, tekanan darah diastole, kadar kolesterol, dan stress yang diakibatkan oleh pembedahan. 2) Menurunnya rasio penyakit jantung, sirosis, efisema, myocardial infarction, stroke, gagal ginjal, kematian akibat kanker, kematian dalam pembedahan jantung, dan kematian yang diakibatkan oleh penyakit secara umum. 3) Meningkatnya gaya hidup sehat dan usia hidup. (see Larson et al., 1998; Levin & Vanderpool, 1992).

Selain berdampak positif pada kesehatan fisik, agama dan religiusitas juga berpengaruh pada kesehatan mental. Hasil penelitian selama dua decade terakhir menyimpulkan bahwa agama memiliki kaitan dengan kesejahteraan psikologis. Individu dengan konsep agama yang positif memiliki kemungkinan lebih kecil untuk mengalami depresi. Selain itu, individu juga akan merasa bahagia dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Penjelasan lain juga mengungkapkan bahwa dengan berdoa, keadaan psikologis dari seseorang akan menjadi lebih tenang, sehingga tubuh menjadi lebih rileks. Hal itu pun berakibat pada berkurangnya tingkat kecemasan dan selanjutnya juga member efek positif pada fisik, seperti lancarnya proses pernafasan dan pencernaan.

Tingkat religiusitas juga berpengaruh pada ketahanan individu untuk menghadapi kondisi yang mungkin member pengaruh buruk bagi mental, seperti diungkapkan oleh Braam et al. (2004) bahwareligion may offer a frame of reference toward questions of life, suffering and death, and may help to accept a decrease in physical functioning in light of religious and spiritual values” (p. 485). Secara umum, kesehatan mental dan fisik akan saling mempengaruhi, sehingga individu yang memiliki religiusitas tinggi akan memiliki kondisi mental dan fisik yang baik.

Namun perlu diketahui bahwa efek dari agama dan tingkat religiusitas sangat dipengaruhi oleh bagaimana individu menerapkan agama yang mereka anut. Jika individu menganut suatu agama secara sangat patuh tanpa memikirkan kondisi sosialnya, hal itu dapat bersifat psikopatologis. Hal yang sama juga berlaku jika individu menjalankan agama secara parsial maupun semaunya.
Karena agama memiliki efek yang sangat baik jika diterapkan secara bijak, sudah seharusnya kita menerapkan ajaran agama kita dengan sepenuh hati. Jika dilakukan dengan terpaksa, efek yang diakibatkannya pun akan berbeda. Selain itu, pengetahuan tentang agama harus terus dikaji lebih dalam agar tidak terjebak dalam kesalahan pada penerapan ajaran agama yang justru member efek negatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar